Jumat, 09 Oktober 2009

Ratok Tangih Anak Nagari

Tangis dan duka mengiringi perjalanan ku menuju bandara internasional minangkabau dua hari pasca gempa yang mengguncang kota kelahiranku, Ranah Minang. Hampir disetiap pinggir jalan yang ku lewati menuju kota Padang terhampar pemandangan yang memilukan hati,kesedihan berbalut duka menyaksikan kondisi pada waktu itu, kepedihan itu sungguh menggores kalbuku. Aku hanya bisa duduk terdiam memandangi puing-puing reruntuhan bangunan dengan sesekali menundukkan kepala mencoba menahan air mata yang tak mau berhenti mengalir seolah berpacu dengan derasnya hujan yang turun kala itu. Semuanya terjadi begitu saja, dalam hitungan menit kota ku menjadi tak berbentuk lagi.
Rabu, tanggal 30 September 2009 tepatnya jam 17.** sore, gempa besar berkekuatan 7,6 SKR mengguncang Ranah Minang, seketika itu juga Sumatra Barat berubah menjadi nagari yang tidak lagi ku kenali. Ranah Bundo merintih, bumi pertiwi berguncang dengan kekuatan yang maha dasyhat disertai dengan kecemasan berbaur ketakutan akan terjadinya tsunami terus menghinggapi pikiran warga Padang dan sekitarnya, pekikan histeris ketakuatan sontak berderu deram seiring bangunan yang perlahan menundukkan dirinya tak kuasa menahan kuatnya getaran gempa. Bangunan beton dengan kontruksi dan susunan rangka besi roboh seperti tidak mempunyai peyangga, getaran gempa meluluhlantahkan semua infrastruktur yang ada. Bak anak ayam kehilangan induknya, semuanya menjadi tak beraturan, semua berhamburan lari keluar rumah, memenuhi lapangan dan jalanan, sontak membuat kemacetan parah, hanya untuk satu tujuan yaitu menyelematkan diri
Malam rebah dialtar langit sedangkan kabut gelap masih saja menggelayut, gema takbir adzan magrib kini tak berkumandang lagi menyeru keagungan dan kebesaran-NYA, denyut-denyut kehidupan seketika itu terhenti berubah menjadi kota mati , hingar-bingar kehidupan kemudian sayup-sayup lirih terdengar, hanya deisran air hujan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang penuh dengan hiruk pikuk duniawi, malam itu sungguh kelam, tak bergeming sesekali diselingi belaian angin penuh misteri sesaat setelah sang langit yang berduka mengucurkan air matanya melengkapi keheningan malam berbalut kedukaan yang sangat mendalam.
Semua menjerit, semua terluka, ribuan nyawa tak terselamatkan bahkan harta benda yang selama ini menjadi dambaan duniawi sudah tidak ada artinya lagi.
Anak-anak menagis dipelukan ibunya, linangnan air mata seorang bapak tak terbendung ketika melihat anaknya terbujur kaku diantara reruntuhan bangunan, tidak sedikit yang berharap cemas dengan kondisi sanak keluarganya, ditambah dengan ratapan anak nagari melihat kondisi ibu pertiwi yang sudah tak ceria lagi. Teramat pedih memang, betapa tidak? Kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya.
Apa yang salah dengan negeri ku ini,rentetan bencana datang silih berganti seolah enggan mau pergi. Semoga saja rentetan bencana yang melanda adalah sebagai bentuk ujian yang akan terus memperkokoh keimanan. Karena memang tak seorang pun yang bisa memastikan, kapan bencana kan berhenti datang menyapa.
Ketika alam mulai bersabda, tak ada satu manusia pun yang mampu menahanya. Tangis tak lagi bisa mengembalikan nyawa-nyawa yang pergi menghadap pemilikNYA. Tangis tak juga bisa mengembalikan harta benda yang telah porak-poranda. Berdoa serta berharap akan datang kemulian dibalik duka.
Ya Allah, Dalam perjalan kehidupan dibumi-Mu adalah untuk menggapai ridho-Mu , Engkau yang Maha Tahu, Engkau yang Maha memberi Pentunjuk dan Engkaulah Maha Pengampun. Jika didalam perjalan hidup ini, tidak sesuai dengan syariatMu ya Robbi, berilah Petunjuk dan BimbinganMu untuk mendapatkan jalan yang lurus, serta ampunilah dosa kami..kuatkanlah kami dan tabahkanlah kami dalam menghadapi ujian dariMu...amin...

_My gucci_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar